Diskriminasi Teknologi
Penulis: Jimmy Febriyadi
2022-01-07
Akhir tahun 2019 muncul laporan pertama mengenai wabah COVID-19, yang kemudian menyebar ke berbagai negara, dan pada akhir Januari 2020, WHO mendeklarasikan darurat kesehatan dunia dan menyatakan COVID-19 sebagai sebuah pandemi.
Selain masalah kesehatan, pandemi COVID-19 pun sangat mempengaruhi aspek sosial dan ekonomi. Beberapa negara mengeluarkan kebijakan pembatasan kegiatan untuk menekan angka penyebaran dan kematian, yang sangat berdampak terhadap aspek sosial dan ekonomi.
Seiring dengan waktu, dan mulai terkendalinya penyebaran COVID-19. Masyarakat sudah mulai beradaptasi dengan era kenormalan baru atau sering disebut new-normal. Tidak hanya adaptif dalam kehidupan sosial dan kesehatan, namun juga adaptasi terjadi dalam dunia teknologi. Semua sektor berusaha adaptif terhadap kondisi dan menciptakan terobosan-terobosan teknologi untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa pandemi. Saat ini, pertemuan-pertemuan sering dilakukan secara virtual, sekolah dan pendidikan dilakukan jarak jauh, pembelanjaan melalui e-commerce semakin meningkat, pelayanan publik dan perbankan yang lebih banyak diakses secara daring, dan lainnya.
Namun sayang, tidak semuanya bisa mengakses kemudahan teknologi tersebut. Kelompok marjinal dan rentan, belum semuanya bisa menikmati teknologi, dikarenakan belum tersedianya infrastruktur jaringan di daerah terpencil, masyarakat pra-sejahtera yang belum mampu membeli gawai, aplikasi yang belum “ramah” terhadap disabilitas, dan lainnya.
Sebagai contoh, untuk mempermudah calon nasabah dan menghindari antrian di kantor cabang, maka pihak bank berlomba-lomba untuk mengembangkan layanan aplikasi daring, seperti e-registration, mobile-banking, internet-banking dan lainnya. Untuk menurunkan risiko penyalahgunaan layanan perbankan, maka salah satu langkah yang harus dilalui calon nasabah adalah verifikasi data, baik identitas dan foto calon nasabah. Sayangnya, aplikasi tersebut hanya bisa berjalan baik untuk para calon nasabah non-disabilitas. Sedangkan untuk beberapa penyandang disabilitas seperti tuna netra, mereka kesulitan untuk memverifikasi layanan tersebut, terlebih apabila ada perintah untuk mengedipkan mata pada saat pengambilan foto calon nasabah. Salah satu tim dari INCREASE | Inclusive Creative Social Enterprise, yang terlahir tidak bisa melihat (tidak mempunyai bola mata dan kelopak mata menempel), masih kesulitan untuk mengakses aplikasi perbankan tersebut. Ini adalah contoh kecil dari fenomena gunung es terkait masih belum terimplementasikannya inklusifitas dalam semua sektor. Masih banyak diskriminasi yang terjadi, termasuk ‘diskriminasi teknologi’ untuk para kelompok marginal.
Idealnya, setiap sektor mempertimbangkan inklusifitas dalam program mereka. Prinsip customers oriented bisa dilakukan dengan cara melibatkan atau menerima masukan dari teman-teman difabel dalam hal perencanaan, pengembangan, dan implementasi aplikasi atau program lainnya.
Semoga semakin banyak pihak yang mempertimbangkan inklusivitas, yang dapat membantu mempersempit kesenjangan adaptasi di new normal ini.
“Diversity is a fact; Inclusion is an act” (Hirji)
Jimmy Febriyadi adalah salah satu pendiri INCREASE | Inclusive Creative Social Enterprise dan DEC | Disability Empowerment Centre – Mitra Sejahtera. Selama lebih dari 13 tahun terlibat dalam program pemberdayaan kelompok marginal dan rentan, terutama penyandang disabilitas, perempuan, pemuda, masyarakat adat dan pesisir.
