Making waves in Tempo

Our project work in Java over the last six months has caught the attention of Tempo Magazine. Tempo is one of the largest circulation and best known weekly news and politics magazines in Indonesia.

 

DIFABEL MANDIRI MELALUI KOLABORASI

Enam wirausaha sosial Indonesia terpilih menjadi contoh gerakan ekonomi yang inklusif dan mensejahterakan. Menjadi bahan bakar ekonomi abad ke-21.

 

Jimmy Febriyadi selalu balik bertanya setiap kali ada calon pembeli yang ingin tahu berapa harga produk kerajinan tangan yang dipamerkannya. Seperti bermain tebak-tebakan, ini adalah triknya untuk mengetahui bagaimana orang menghargai hasil kerja keras sebuah misi sosial yang dijalankannya.

Dalam sebuah marketplace yang menghadirkan sekitar 200 usaha sosial dari berbagai Negara yang digelar British Council di Teater Unicorn, London, akhir mei lalu, Jimmy menerapkan jurusnya. “Menurut anda, berapa harga yang pantas untuk kalung itu?” Jimmy bertanya kepada seorang pria asal Inggris yang tampak tertarik pada sebuah kalung batik berhias manik-manik. Lelaki itu menjawab ,”sepuluh pound sterling”. Sepakat, jadilah kalung itu berpindah tangan.

Aslinya, kalung tersebut dihargai Rp 35 ribu. Jimmy berhasil menjualnya dengan harga lima kali lipat lebih tinggi. Taktik dagang tersebut berhasil membuat pria 39 tahun itu mendapatkan 54 pound sterling atau Rp 979 ribu dalam tempo dua jam. Bukan keuntungan semata yang dicari co-founder Disability Empowerment Center ini. “Pembeli berani menawar, bahkan membayar dengan harga tinggi karena mereka tahu ada misi sosial didalamnya.” Katanya.

Jimmy bersama rekannya, Hardiyo Darmoatmojo, adalah roda penggerak Disability Empowerment Center dari Gunungkidul, daerah Istimewa Yogyakarta. Cita-cita mereka sederhana : penyandang disabilitas bisa mandiri dan punya penghasilan sendiri. Hardiyo mendorong para difabel membuat beragam produk kerajinan tangan, sementara Jimmy menangani pemasarannya.

Hardiyo, yang duduk dikursi roda karena mengalami kerusakan tulang sumsum pada usia 27 tahun, paham betul bagaimana penyandang disabilitas dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai benalu dalam keluarga.  “Saya dulu minder karena dibilang enggak bisa apa-apa. Keluarga jadi menutup diri karena malu dengan keadaan saya”, tutur pria 52 tahun itu. Lambat laun  dia berusaha membongkar stigma tersebut  dengan berkarya dan menjual kerajinan tangan buatan sendiri.

Sukses menjual beragam kerajinnan tangan, seperti gantungan kunci bambu, keset, wayang, kalung, dan tas rajut, Hardiyo mengajak teman-temannya sesama difabel untuk membantunya. Dia pun mendirikan Disability Empowerment Center pada 2017. Kemudian Jimmy turut bergabung. “Ada beberapa teman penyandang disabilitas yang seumur hidupnya belum pernah menghasilkan uang seribu rupiah pun,” ucap Jimmy. “Ketika tahu hasil kerajinan tangannya terjual dan mendapat uang Rp 15 ribu, mereka sampai menangis sujud syukur.”

Hanya, pendapatan itu belum cukup untuk menghidupi organisasi. Jimmy sebagai pengelola bisnis Disability Empowerment Center mencari cara supaya produk buatan teman-teman difabel dikenal sampai ke mancanegara. Jimmy, yang pernah menjadi pembicara di British Council, kemudian curhat kepada Robert Foster, pendiri lembaga kewirausahaan sosial di Inggris, Red Orche. Lembaga ini didekati karena terbukti berpengalaman dalam mengembangkan kewirausahaan sosial sejak 2013. Salah satu binaan Red Orche, Magmatech, yang menghasilkan produk bahan bangunan hemat energy, diganjar Queen’s Award for Innovation dari Ratu Elizabeth II pada 2018.

Dari Red Orche, Jimmy dan hardiyo  belajar membuat rencana produksi kerajinan, mengimbangi penawaran dan permintaan, sampai mengolah trik pemasaran tak lazim  seperti yang diterapkan di Teater Unicorn tadi. Satu hal lain yang mengantarkan mereka ke pasar  mancanegara: proposal yang mereka ajukan untuk mendapatkan bantuan dana program Developing Inclusive and Creative Economies dari British Council. “Tak disangka, usaha sosial kami terpilih. Ini seperti mimpi,” kata Hardiyo.

Disability Empowerment Center dan lima wirausaha sosial dari Indonesia, yakni Ketemu Project dari bali, Nalitari (Yogyakarta), Think.Web, Platform Usaha Sosial atau PLUS dan Social Innovation Acceleration Programme atau SIAP (Jakarta), dijadikan contoh perkembangan kewirausahaan sosial oleh British Council. Selain dari Indonesia, ada sejumlah wirausaha sosial dari Brasil, Mesir, Pakistan, dan Afrika Selatan.

Perwakilan dari setiap perusahaan sosial itu diboyong ke London untuk diperlihatkan langsung beberapa usaha sosial yang sukses disana. Tim Disability Empowerment Center belajar dari lima jenis usaha sosial, yaitu Building Block, Lee Valley, VeloPark, Clarity Soap, Joy of Sound, dan London Library. Tiga diantaranya berfokus pada pemberdayaan penyandang disabilitas di London.

Hardiyo beroleh tiga pelajaran penting dari kunjungan ini. Pertama, semua terobosan yang diterapkan perlu waktu dan proses yang tidak sebentar. Contohnya Clarity Soap, yang berdiri  sejak 1884  di Negara yang relative kaya tapi sampai saat ini masih butuh dukungan dana dari pihak luar. Kedua,  kerja sama dengan berbagai pihak sangat diperlukan karena pemberdayaan begitu kompleks dari berbagi latar belakang. Ketiga, ada strategi yang bisa segera di aplikasikan di organisasi dan ada yang butuh waktu lebih lama. “yang bisa kami tiru adalah teknik kerja sama  dengan berbagi pihak, “ ucapnya.

Penasihat program Developing Inclisive and Creative Economies, Jhon Newbigin Obe, mengatakan jenis usaha sosial ini menjawab masalah kemakmuran sekaligus membawa perdamaian diseluruh dunia. “Jika minyak adalah bahan bakar yang menggerakkan ekonomi abad ke-20, bahan bakar ekonomi abad ke-21 adalah kreatifitas dan inklusivitas ,”ujar Obe, yang juga pendiri usaha sosial Creative England.

Pemerintah mengapresiasi upaya pengusaha dengan misi sosial ini. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Keberhasilan  kewirausahaan sosial memiliki kontribusi sekitar 1,91 persen atau Rp 19,4 miliar dari nilai produk domestik bruto Indonesia. “Kewirausahaan sosial menempatkan inklusivitas sebagai inti pembangunan ekonomi,” kata Bambang dalam publikasi British Council dan UNESCAP 2018, “Building an Inclusive and Creative Economy: The State of Social Enterprise in Indonesia”. Menurut dia, usaha sosial adalah platform bagi setiap komunitas  di perdesaan sampai perkotaan untuk memberikan dampak positif melalui pendekatan kreatif dan kolaboratif.

Bukan bak ketiban bulan Hardiyo dan Jimmy mendapat hibah sebesar 73.600 pound sterling atau sekitar Rp 1,34 miliar dari program Developing Inclusive and Creative Economies. Kembali ke impian semula, mereka ingin penyandang disabilitas memiliki penghasilan yang lebih baik dengan berbagai program. Duet Hardiyo-Jimmy memilih 14 “local hero” sebagai penggerak kewirausahaan social sehingga anggota Disability Empowerment Center bertambah dari 50 menjadi  150 difabel. Ada pula pelatihan untuk kelompok penyandang disabilitas yang lebih spesifik, misalnya Mitra Ananda yang berfokus pada penyandang cerebal palsy, komunitas perempuan kreatif, dan pemuda difabel.

Mereka menargetkan penghasilan para perajin penyandang disabilitas yang semula hanya Rp 300-500 ribu meningkat menjadi Rp 1-1,5 juta per bulan. “kami ingin makin banyak penyandang disabilitas mendapat manfaat dari usaha social ini, dan mereka terbebas dari stigma benalu,” tutur Hardiyo.

 

Majalah Tempo, Edisi Juni 2019